Sewaktu inyong pulang “kekota”, dan melewati kota Megelang yang ramah, tanpa sengaja pandangan inyong menatap patung yang ada di alun-alun kota Magelang tepatnya di depan matahari sebelah kanan jalan kalo dari arah semarang. Dibawah patung Pangeran Diponegoro ada tulisan “TURONGGO TITIHAN SEKARING BAWONO”, sambil terus menikmati montor supra x wetonan tahuN rong ewu inyong melanjutkan perjalanan dan ternyata inyong masih kepikiran mengapa kok ditulis sepeti itu bukanlah maksud dan tujuan si pembuat patung sebenarnya adalah untuk menghormati dan menghargai P. Diponegoro yang telah berjasa pada Ibu Pertiwi ini dengan mengangkat senjata melawan kompeni yang penjajah itu, kenapa malah P. Diponegoro ditulis dibelakang kudanya tidaklah didepan, bukanlah yang dimaksud Sekaring Bawono itu adalah P. Diponegoro.
Ternyata masalah tersebut masih belum terpecahkan sampai inyong sampai rumah, dan inyong juga heran mengapa tetap masih berpikir terus, padahal sebenarnya engga’ ada gunanya Lha wong patung kok dipikir sampai serius seolah menjadi bahan kuliah yang akan diujikan.
Setelah malam dengan gaya yang polos dan lugu inyong dekati simbah kakung yang sudah renta namun masih masih menyimpan sinaran kebijakan dan jiwa kehidupan, kemudian inyong lontarkan PR tadi. Simbah kemudian manggut-manggut dan tersenyum memamerkan bekas deretan giginya yang tinggal gusinya saja. Akhinya sampai malam inyong dan simbah sharing pendapatlah nek istilah sekarang. Sehingga akhirnya mengerti juga inyong apa yang dimaksud oleh pembuat atau pemesan patung itu.
Ternyata maknanya bahwa untuk dihormati banyak orang tidaklah harus berada didepan namun dibelakangpun dapat dihormati atau bahkan lebih dihormati, makanya janganlah sekali-kali minta didepan agar dihormati banyak orang, kehormatan sesorang tidak harus ditonjol-tonjolkan atau direkayasa namun kehormatan akan muncul dan timbul ketika seseorang telah memenuhi kodrat dan menjalani peran yang seharusnya memang harus dijalani dengan hati yang tulus, ikhlas dan bersandar pada Illahirob, semua dijalani tanpa pamrih dan harapan apapun kecuali hanya ingin mengabdikan dirinya pada apa yang telah dipilihnya, tanpa sedikitpun mengharap nanti akan menjadi ini,menjadi itu atau yang lainya, namun semua karena memenuhi naluri jiwa dan ibadah kepadaNya. Masalah nanti akan mendapat penghargaan atau tidak nda’ jadi masalah yang peting terus mengabdi dan berkarya agar menjadi berguna bagi orang lain walaupun seberapa kecil peran kita, P. Diponegero nda’ pernah mempunyai cita-cita berjuang agar mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan, namun orang-oranglah yang akan menyebutnya sebagai pahlawan walau tidak diminta, namun dengan sendirnya akan terjadi hala yang demikian.
Orang jawa yang masih memegang teguh kejawaannya pasti akan tidak meng-agung-agungkan peran dan perbuatannya kepada orang lain, orang jawa pasti akan selalu berusaha untuk menyembunyikan kesempurnaan dan pengabdiannya, mereka tidak akan menonjolkan peran dan jasa-jasanya yang telah diperbuat. Makanya kamu harus bisa merasa bahwa berada dimana, mendapat peran apa, jalani peranmu dengan ikhlas dan berserah diri dilandasi niat ibadah, masalah nanti itu sudah ada yang mengaturnya. Ibarat hidup ini orkestra kita masing-masing mendapat peran yang harus dijalani seseuai dengan kodrat dan keharusan, jangan sekali-kali melawan kodrat dan keharusan jika ingin orkestra hidup ini indah dan merdu.
Dalam suatu orkestra setiap alat akan memberi warna assamble tersendiri betapa pun kecil dan jarangnya ia beraktifitas dan alat itu harus berperan pada saat memang harus berperan, misal gitar yang harus berperan sebagai gitar berperanlah sebagai gitar jangan sekali-kali memerankan bas atau saxopone, demikian juga saxopone juga harus berperan dan berbunyi layaknya saxopone jangan berbunyi sebagai trombone atau seruling apalagi kendang, akan bubrah orkestra ini natinya. Jika semua alat berpegang teguh pada apa yang harus dijalaninya maka orkestra kita nantinya akan merdu dan indah sehingga akan membuat penikmat menjadi camfort dan selalu menanti serta menunggu orkestra apa lagi yang akan dimainkannya.
Setelah inyong pikir ungkapan simbah kakung benar juga dan inyong baru ngerti sekarang makna yang ada, memang semuanya kita harus pahami dan selami semua yang ada ini terlebih dahulu agar kita dapat mengitepretasikan apa yang kita lihat, kita rasakan dan kita jalani jangan kita ambil dan telan mentah-mentah informasi yang kita terima, memang dalam keseharian inyong sering mendengar orang berpidato “Istri dari Bapak Camat….., Istri dari Bapak Bupati, Istri dari Bapak Gubernur, atau Istri dari Bapak – Bapak yang lain……………..”, bukankah mereka sebenarnya bermaksud ingin menghargai Bapak Camat, Bupati, Gubernur atau bapak-bapak yang lain, disamping menghargai ibu-ibu dan istrinya. Kenapa mereka tidak menyebutkan jabatan suaminya terlebih dahulu malah menyebutkannya dibelakang, inilah mungkin makna yang terkandung dalam filsafat jawa yang penuh misteri ini.
Liding dongeng jika kita ingin dihormati dan diteladani jangan berperan sebagai apa yang bukan menjadi peran kita, berperanlah sebagai diri kita jangan orang lain, jalani peran kita sebaik mungkin walaupun jika dipandang secara duniawi sangat remeh dan tak berarti namun dibalik itu semua akan mempunyai arti dan makna yang luas dan mendalam, yang penting kita jalani peran dengan ikhlas disertai niat ibadah, perkara nanti akan menjadi ini, itu atau yang lain jangan dirisaukan dan jangan pedulikan semuanya sudah ada yang mengatur dan sudh tertulis ketika kita teken kontrak dengan Allah SWT dahulu sewaktu usia kita masuk pada hitungan 40 yang ketiga, sekarang tinggal jalani bagaikan kodrat air yang selalu mengalir dan mengalir dan terus megalir…
Akhirnya semua inyong serahkan kepada pembaca bagaimana menanggapi fenomena ini dan yang paling akhir walahu alam bi sawab, KEPARENG!
mBawang, pethite April nol wolu
Inyong yang selalu terinspirasi
“seseorang” yang kukagumi